Kerajaan
Indonesia yang bercorak Hindu-Buddha beserta peninggalannya cukup banyak
ditemui di Nusantara ini, berikut beberapa kerajaan-kerajaan
Hindu-Buddha dan peninggalannya :
1. Kerajaan Kutai
Kerajaan
Kutai disebut juga Kerajaan Kutai Martadipura (Martapura) merupakan
kerajaan Hindu yang berdiri sekitar abad ke-4 Masehi di daerah Kutai
Kalimantan Timur. Kerajaan ini dibangun oleh Kudungga. Dalam prasasti
Yupa disebutkan bahwa Kudunggalah pendiri kerajaan ini sehingga ia
disebut wamsakarta.
Setelah
Kudungga, Kerajaan Kutai dipimpin oleh Aswawarman dan diteruskan oleh
Mulawarman. Pada zaman Mulawarman inilah Kerjaan Kutai mengalami puncak
kejayaan. Ia termasyhur pernah menyedekahkan 20.000 ekor lembu kepada
para Brahmana. Untuk memperingati hal itu, para Brahmana mencatatnya
dalam prasasti Yupa.
Pada abad
ke-16, kerajaan Hindu tertua di Nusantara ini takluk dari Kerajaan Kutai
Kartanegara. Dalam peperangan tersebut, Raja Kutai Martadipura terakhir
yang bernama Maharaja Dharma Setia tewas di tangan Raja Kutai
Kartanegara ke-13, Aji Pangeran Anum Panji Mendapa.
2. Kerajaan Tarumanegara
Kerajaan
Tarumanegara merupakan kerajaan bercorak Hindu yang terletak di Jawa
Barat. Kerajaan ini diperkirakan berkembang antara 400-600 M. Salah
seorang rajanya yang terkenalnya bernama Purnawarman. Pengaruh India
melalui penggunaan bahasa Sanskerta dan huruf Pallawa dalam kehidupan
kerajaan ini sangat kuat, khususnya dalam kehidupan keraton.
Terdapat tujuh prasasti yang dapat menjadi sumber informasi kehidupan pada zaman Kerajaan Tarumanegara sebagai berikut.
a. Prasasti Ciaruteun di Bogor.
b. Prasasti Kebon Kopi di Bogor.
c. Prasasti Jambu di Bogor.
d. Prasasti Muara Cianten di Bogor.
e. Prasasti Tugu di Bekasi.
f. Prasasti pasir Awi di Leuwiliang.
g. Prasasti Munjul di Banten.
Pada masa
kekuasaan Raja Purnawarman, kerajaan ini sering mendapat kunjungan dari
penjelajah asing. Salah seorang di antaranya adalah Fa Hsien yang datang
ke kerajaan ini pada abad ke-5 M. Berita dari Cina pada masa
pemerintahan Dinasti Tang dan Sung menyebutkan sebuah kerajaan bernama
To-lo-mo, sering mengirimkan utusannya ke Cina untuk menghadap kaisar.
Kemungkinan besar kerajaan tersebut adalah Kerajaan Taruma karena
berdasarkan ejaan Cina, To-lo-mo berarti Taruma.
3. Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan
Sriwijaya merupakan kerajaan yang besar dan makmur karena letaknya yang
strategis berada di jalur pelayaran dan perdagangan internasional
sehingga semua kapal dagang yang mengadakan pelayaran dari Cina ke India
atau sebaliknya singgah di bandar-bandar Sriwijaya. Melalui penguasaan
jalur perdagangan dan pelayaran internasional serta peran aktifnya dalam
perdagangan internasional, maka Kerajaan Sriwijaya memperoleh kejayaan
di kawasan Asia Tenggara
Kerajaan
Sriwijaya berdiri sekitar abad ke-7 M menempati wilayah Sumatra dan
semenanjung Malaysia. Kerajaan Sriwijaya mencapai puncak kejayaan pada
abad ke-8 M dan ke-9M, pada masa pemerintahan Raja Balaputradewa dari
Dinasti Syailendra.
Kerajaan
Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya agama
Hindu dan kemudian diikuti pula oleh agama Buddha. Agama Buddha
diperkenalkan di Sriwijaya pada tahun 425 Masehi. Sriwijaya merupakan
pusat terpenting agama Buddha Mahayana. Raja-raja Sriwijaya menguasai
kepulauan Melayu mengurus perdagangan dan penaklukan dari kurun abad
ke-7 hingga abad ke-9.
Pada masa
yang sama, agama Islam memasuki Sumatra termasuk Aceh yang telah
disebarkan melalui perhubungan dengan pedagang Arab dan India. Pada
tahun 1414 pangeran terakhir Sriwijaya, Parameswara, memeluk agama Islam
dan berhijrah ke Semenanjung Malaya dan mendirikan Kesultanan Melaka.
Agama Buddha
aliran Buddha Hinayana dan Buddha Mahayana disebarkan di pelosok
kepulauan Melayu, dan Palembang menjadi pusat pembelajaran agama Buddha.
Pada tahun 1017, 1025, dan 1068, Sriwijaya telah diserbu Raja Chola
dari kerajaan Colamandala (India) yang mengakibatkan hancurnya jalur
perdagangan. Pada serangan kedua tahun 1025, Raja Sri Sanggramawidjaja
Tungadewa ditawan. Pada masa itu juga, Sriwijaya telah kehilangan
monopoli atas lalu lintas perdagangan Tiongkok-India. Akibatnya,
kemegahan Sriwijaya menurun. Kerajaan Singosari yang berada di bawah
naungan Sriwijaya melepaskan diri.
Pada tahun
1088, Kerajaan Melayu Jambi, yang dahulunya berada di bawah naungan
Sriwijaya menjadikan Sriwijaya taklukannya. Kekuatan kerajaan Melayu
Jambi berlangsung hingga dua abad sebelum akhirnya melemah dan takluk di
bawah Majapahit
4. Kerajaan Mataram Kuno
Kerajaan
Mataram Kuno merupakan kerajaan Hindu-Buddha yang ada di Jawa Tengah.
Kerajaan ini berkembang kira-kira pada abad ke 8 sampai abad ke-11M. Hal
ini bersumber dari prasasti Canggal yang berangka tahun 732M. Prasasti
ini menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta. Prasasti ini
merupakan bagian dari bangunan lingga yang merupakan tempat pemujaan
umat Hindu.
Kerajaan
Mataram Kuno diperintah oleh dua dinasti, yaitu Dinasti Syailendra dan
Dinasti Sanjaya. Raja-raja dari Dinasti Syailendra adalah Bhanu, Wisnu,
Indra, Samaratungga, dan Balaputradewa. Raja terakhir Syailendra,
Balaputradewa akhirnya melarikan ke Sriwijaya akibat kalah dalam perang
melawan Rakai Pikatan dari Dinasti Sanjaya. Raja-Raja dari Dinasti
Sanjaya antara lain Sanjaya, Rakai Panangkaran, Panunggalan, Rakai
Warak, Rakai Garung, Rakai Pikatan, Kayuwangi, Watuhumalang, Dyah
Balitung, Sri Maharaja Daksa, Sri Maharaja Rakai Wawa, dan Empu Sindok.
Akibat
terjadinya bencana alam, Empu Sindok memindahkan kerajaan dari Jawa
Tengah ke Jawa Timur dan mengganti nama kerajaan menjadi Medang Kamulan
(Wangsa Isyana) dengan raja-raja yang pernah memerintah antara lain Empu
Sindok, Darmawangsa, dan Airlangga.
5. Kerajaan Singosari
Kerajaan Singasari merupakan Kerajaan Hindu yang berdiri pada tahun 1222 M. Raja
pertamanya adalah Ken Arok yang bergelar Sri Ranggah Rajasa Sang
Amurwabhumi. Kerajaan ini bermula ketika Raja Airlangga, Raja terakhir
dari Kerajaan Medang Kamulan membagi dua kerajaan menjadi Kediri dan
Jenggala. Hal ini dilakukan untuk menghindari perang saudara. Tumapel
merupakan daerah di bawah wilayah kerajaan Kediri. Penguasa Tumapel saat
itu adalah Tunggul Ametung, yang memiliki istri bernama Ken Dedes.
Ken Arok
seorang rakyat jelata yang kemudian menjadi prajurit Tunggul Ametung,
berkeinginan untuk menguasai Tumapel. Ken Arok kemudian membunuh Tunggul
Ametung dengan keris yang dipesan dari Mpu Gandring. Ken Arok kemudian
menjadi pengganti Tunggul Ametung dengan dukungan rakyat Tumapel.
Ken Dedes
pun menjadi istri Ken Arok. Ia dimahkotai dengan gelar Sri Rajasa Batara
Sang Amurwabumi. Kemudian, Ken Dedes melahirkan putranya hasil
perkawinannya dengan Tunggul Ametung, yang diberi nama Anusapati. Dari
selir bernama Ken Umang, Ken Arok memiliki anak bernama Tohjaya. Ken
Arok memanfaatkan situasi politik Kediri yang sedang kacau waktu itu,
dan bergabung dengan para pendeta. Raja Kediri Kertajaya akhirnya dapat
dikalahkan pada tahun 1222.
Sejak itu
Kadiri menjadi bagian dari wilayah Singosari. Dalam kitab Pararaton
dikisahkan pertempuran berdarah yang terjadi pada keturunan Ken Arok.
Anusapati yang kemudian mengetahui bahwa pembunuh ayahnya (Tunggul
Ametung) adalah Ken Arok, pada tahun 1227 ia membunuh Ken Arok, dan
kemudian menggantikannya menjadi Raja di Kerajaan Singasari. Anusapati
memerintah Singasari selama 20 tahun. Tohjaya, putra Ken Arok dari selir
bernama Ken Umang kemudian menuntut balas kematian ayahnya. Tohjaya
kemudian membunuh Anusapati pada tahun 1248, dan menjadi Raja
Singhasari.
Selama
memerintah, Tohjaya mendapat banyak tentangan karena ia hanyalah anak
seorang selir yang tidak berhak menduduki singgasana Singasari. Tohjaya
hanya memerintah kurang dari setahun karena tewas dalam sebuah
pemberontakan yang dipimpin oleh Ranggawuni anak Anusapati dan Mahesa
Cempaka anak Mahesa Wong Ateleng. Selanjutnya, Singosari dipimpin oleh
Wisnuwardhana (Ranggawuni) putra Anusapati.
Pada masa
kekuasaannya, Ranggawuni bergelar Wisnuwardhana. Perseteruan
antar-keluarga dalam Dinasti Rajasa berakhir dengan rekonsiliasi.
Wisnuwardhana memerintah bersama sepupunya, Mahesa Cempaka. (Mahesa
Cempaka dan Ranggawuni adalah cucu Ken Dedes). Wisnuwardhana memiliki
menantu bernama Jayakatwang. Pada tahun 1254, Wisnuwardhana turun takhta
dan digantikan oleh putranya, Kertanagara. Wisnuwardhana meninggal pada
tahun 1268.
Kertanagara
adalah raja terakhir Singosari (1268-1292). Pada tahun 1275, Kertanagara
mengirim utusan ke Melayu, dan patungnya sebagai Amoghapasha didirikan
di Jambi (1286). Pada tahun 1284 Kertanagara mengadakan ekspedisi ke
Bali, dan sejak itu Bali menjadi wilayah Kerajaan Singosari. Pada tahun
1289, Kubilai Khan (Kekaisaran Mongol) mengirim utusan ke Singosari
untuk meminta upeti, tetapi ditolak dan dipermalukan oleh Kertanagara.
Kekuatan
Singosari yang terfokus pada persiapan pasukan untuk mengantisipasi
balasan Mongol, membuat lengah pertahanan dalam negeri. Akibatnya,
kesempatan ini digunakan oleh Jayakatwang memberontak terhadap
Singosari. Jayakatwang adalah menantu Wisnuwardhana, yang kurang suka
dengan peralihan kekuasaan Singhasari ke tangan Kertanagara. Kertanagara
akhirnya meninggal ketika mempertahankan istananya (1292). Pertempuran
ini digambarkan jelas dalam Prasasti Kudadu yang ditemukan di lereng
Gunung Butak Mojokerto.
6. Kerajaan Majapahit
Informasi
tentang kerajaan ini diperoleh melalui beberapa kitab yang di antaranya
Pararaton, Kidung, Sundayana, Kakawin Negarakertagama, dan beberapa
prasasti. Kerajaan Majapahit merupakan kerajaan yang terakhir dan
sekaligus yang terbesar di antara kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara.
Didahului oleh Kerajaan Sriwijaya, yang beribukotakan Palembang di Pulau
Sumatra. Penguasa Majapahit paling lama adalah Hayam Wuruk yang
memerintah dari tahun 1350-1389.
Pendiri
Majapahit yaitu Kertarajasa yang merupakan anak menantu penguasa
Singhasari. Sesudah Singosari mengusir Sriwijaya dari Jawa secara
keseluruhan pada tahun 1290, kekuasaan Singosari yang naik menjadi
perhatian Kubilai Khan di Cina dan dia mengirim duta yang menuntut
upeti. Kertanagara sebagai penguasa Kerajaan Singosari menolak untuk
membayar upeti dan Khan memberangkatkan ekspedisi menghukum yang tiba di
pantai Jawa tahun 1293. Ketika itu seorang pemberontak dari Kediri,
Jayakatwang, sudah membunuh Kertanagara. Pendiri Majapahit bersekutu
dengan orang Mongolia melawan Jayakatwang.
Gajah Mada
seorang patih dan bupati Majapahit dari 1331 ke 1364, memperluas
kekuasaan kerajaan ke pulau sekitarnya. Beberapa tahun sesudah kematian
Gajah Mada, angkatan laut Majapahit menduduki Palembang dan menaklukkan
daerah terakhir kerajaan Sriwijaya.
Walaupun
penguasa Majapahit melebarkan kekuasaan mereka di tanah seberang di
seluruh Nusantara dan membinasakan kerajaan-kerajaan tetangga, fokus
mereka kelihatannya hanya untuk menguasai dan memonopoli perdagangan
komersial antarpulau.
Ketika
Majapahit didirikan, pedagang Muslim dan para penyebar agama mulai
memasuki Nusantara. Sesudah mencapai puncaknya pada abad ke-14, tenaga
Majapahit berangsur-angsur melemah dan perang suksesi yang mulai dari
tahun 1401 dan berlangsung selama empat tahun melemahkan Majapahit.
Setelah ini, Majapahit ternyata tak dapat menguasai Nusantara lagi.
Sebuah kerajaan baru yang berdasarkan agama Islam, yaitu Kesultanan
Malaka mulai muncul dan menghancurkan hegemoni Majapahit di Nusantara.
Kehancuran
Majapahit diperkirakan terjadi pada sekitar tahun 1500-an meskipun di
Jawa ada sebuah khronogram atau candrasengkala yang berbunyi seperti
ini: sirna hilang kretaning bumi. Sengkala ini konon adalah tahun
berakhirnya Majapahit dan harus dibaca sebagai 0041 = 1400 Saka =>
1478 Masehi. Arti sengkala ini adalah “sirna hilanglah kemakmuran bumi
(Majapahit)”.
Berikut merupakan raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Majapahit:
1) Raden Wijaya, bergelar Kertarajasa Jayawardhana (1294 – 1309);
2) Kalagamet, bergelar Sri Jayanagara (1309 – 1328);
3) Sri Gitarja, bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328 – 1350);
4) Hayam Wuruk, bergelar Sri Rajasanagara (1350 – 1389);
5) Wikramawardhana (1389 – 1429);
6) Suhita (1429 – 1447);
7) Kertawijaya, bergelar Brawijaya I (1447 – 1451);
8) Rajasawardhana, bergelar Brawijaya II (1451 – 1453);
9) Purwawisesa atau Girishawardhana, bergelar Brawijaya III (1456 – 1466);
10) Pandanalas, atau Suraprabhawa, bergelar Brawijaya IV (1466 – 1968);
11) Kertabumi, bergelar Brawijaya V (1468 – 1478);
12) Girindrawardhana, bergelar Brawijaya VI (1478 – 1498).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar